Luhut Buka Suara: Kawasan Morowali Diinisiasi di Era SBY, bukan Jokowi

Arsip foto - Sejumlah penumpang berjalan menuju terminal kedatangan saat tiba di Bandara Morowali, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, Kamis (1/8/2024).(ANTARA FOTO/Basri Marzuki)

MENTERI Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi periode 2016-2024 Luhut Binsar Pandjaitan angkat bicara soal polemik status Bandara Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali, Sulawesi Tengah. 

Ia menegaskan, bandara tersebut berstatus bandara khusus dan bukan bandara internasional, sehingga tidak memerlukan fasilitas bea cukai maupun imigrasi.

“Bandara khusus diberikan hanya untuk melayani penerbangan domestik dan memang tidak memerlukan bea cukai atau imigrasi sesuai aturan perundang-undangan," ujar Luhut dalam keterangan resmi, Senin (1/12). 

"Tidak pernah kami mengizinkan bandara di Morowali atau Weda Bay menjadi bandara internasional,” sambungnya. 

Luhut menjelaskan, sejarah pembangunan kawasan industri Morowali dimulai pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diresmikan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Dari proses ini muncul gagasan untuk menghentikan ekspor bahan mentah dan mendorong hilirisasi.

Menurut Luhut, mendatangkan investor asing bukan hal mudah. Setelah mempertimbangkan kesiapan negara-negara calon mitra dari sisi teknologi, pasar, hingga kapasitas investasi, hanya Tiongkok yang dinilai memenuhi kriteria. Atas persetujuan Presiden Joko Widodo, Luhut bertemu Perdana Menteri Li Qiang untuk meminta komitmen investasi.

Izin pembangunan bandara tersebut diberikan berdasarkan keputusan rapat yang ia pimpin bersama sejumlah kementerian dan lembaga terkait pada saat menjadi Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi. Keberadaan tersebut diberikan untuk mendukung kelancaran investasi, sebagaimana praktik di negara seperti Vietnam dan Thailand.

“Jika mereka berinvestasi hingga US$20 miliar (Rp333 triliun), wajar jika ada permintaan fasilitas tertentu selama tidak melanggar ketentuan nasional,” kata Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) itu. 

Hilirisasi nikel pun dimulai dengan kebijakan penghentian ekspor bijih nikel, yang sebelumnya hanya menghasilkan sekitar US$1,2 miliar (Rp19,98 triliun) per tahun. Luhut menjelaskan, meski menuai kekhawatiran dan penolakan sejumlah menteri, kebijakan ini disetujui setelah melalui pembahasan mendalam.

Luhut menegaskan seluruh pengambilan keputusan dilakukan secara terkoordinasi, transparan, dan berorientasi kepentingan nasional. Ia juga membantah tudingan keputusan terkait Morowali dibuat sepihak oleh Presiden Joko Widodo.

“Saya tidak pernah terlibat bisnis apa pun demi menjaga integritas. Jika ada yang ingin mempertanyakan keputusan ini, silakan datang kepada saya dengan membawa data. Kita tidak berpihak ke Tiongkok atau Amerika, kita berpihak kepada Indonesia,” klaim Luhut. (Ins/I-1)