Jakarta - Pemerintah tengah menjalankan 400 proyek prioritas energi baru terbarukan (EBT). Langkah ini sebagai salah satu strategi Indonesia mencapai nol emisi (Net Zero Emission/NZE) pada 2060 atau lebih cepat.
Hal ini diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dalam Indonesia International Sustainability Forum (ISF 2024).
"Untuk mencapai target 2060 zero emission, tapi kita usahakan sebelum 2060, kita sudah punya 400 proyek yang sedang berjalan sekarang," kata Luhut di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (5/9/2024).
Salah satu di antaranya rencana melakukan pensiun dini terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya 2 sebesar 2,2 gigawatt (GW) yang terletak di Cilegon, Banten. Selain itu, PLTU Cirebon juga masuk rencana pensiun dini.
"Kita akan tutup ini. Dan kita punya (PLTU) Cirebon (masuk ke daftar), jadi kita bicara proyek konkret yang sudah kita rencanakan," ujarnya.
Untuk menyelesaikan keseluruhan proyek, butuh dukungan lebih dari sisi pembiayaan dan juga dukungan untuk masalah hukum. Atas hal ini, pemerintah telah bernegosiasi dengan sejumlah negara seperti Singapura untuk mengekspor energi hijau.
"Kita akan mengekspor energi hijau ke Singapura, sekitar 2 gigawatt, mungkin bisa mencapai 3 gigawatt. Karena ada banyak potensi di sini, dan kita membangun industri panel surya kita sendiri," ujar dia.
Pada saat yang sama, Indonesia juga memiliki kawasan industri hijau terbesar di Kalimantan Utara dengan tenaga air atau hydropower. Indonesia akan membangun sekitar 9 gigawatt tenaga air, yang sedang dalam tahap pembangunan. Proyek ini akan dipadukan dengan panel surya.
Di sisi lain, menurutnya kontribusi Indonesia terhadap emisi karbon per kapita masih jauh lebih rendah dibanding negara maju, yakni baru 2,5 ton per kapita. Sementara Amerika Serikat (AS) sudah 14-15 ton per kapita, sedangkan minimalnya 4,5 ton per kapita.
"Langkah ini menjadi game changer bagi kami. Komitmen kita terhadap emisi nol sudah ada, tidak perlu dipertanyakan lagi, tapi bagaimana kita melakukannya? Kita juga harus mempertahankan pertumbuhan ekonomi kita karena beban dasar harus ada. Tanpa beban dasar, itu dapat membahayakan pertumbuhan ekonomi kita," kata dia. (shc/ara)