Korban Pencabulan oleh 2 Guru di Pesantren Bertambah jadi 43 Orang,
Kini Korban Ditolak di Sekolah Lain
Dua guru pesantren yang mencabuli 40 murid saat diperlihatkan Polresta Padang dalam konferensi pers, Jumat (26/7/2024). Kasus pencabulan yang dilakukan oleh 2 oknum guru di pesantren mengalami penambahan jumlah korban.
TRIBUNWOW.COM - Kasus pencabulan yang dilakukan oleh 2 oknum guru di pesantren mengalami penambahan jumlah korban.
Dua guru di Pondok Pesantren di Kabupaten Agam, Sumatera Barat itu telah ditetapkan polisi sebagai tersangka.
Kasus pencabulan ini terungkap ketika kepolisian di Bukittinggi menerima laporan dari salah satu wali murid pada Juli silam. Polisi kemudian menangkap dua terduga pelaku berinisial RA, pria berusia 29 tahun, dan AA, pria berusia 23 tahun, pekan lalu.
Dalam perkembangan terbaru, jumlah korban dugaan pencabulan terhadap santri laki-laki bertambah menjadi 43 dari sebelumnya 40 orang.
"Korban hingga Jumat (02/08) bertambah jadi 43 orang. [Tiga] korban baru ini didapat dari hasil pemeriksaan saksi dan tersangka," ujar Kasi Humas Polresta Bukittinggi, Iptu Marjohan, kepada wartawan di Sumatra Barat, Halbert Caniago, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (02/08).
MTI Canduang – pesantren setingkat sekolah menengah pertama (SMP) tempat terjadinya dugaan kekerasan seksual – menegaskan pihaknya “sangat serius” menangani kasus ini dan “tidak menutup-nutupi apa yang terjadi”.
Upaya yang dilakukan adalah dengan membentuk investigasi internal. Hasilnya, menurut MTI Canduang, tiga di antara 40 korban diduga mengalami sodomi, sementara 37 lainnya diduga mengalami pencabulan.
Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Agam kini melakukan pendampingan dan penyembuhan trauma terhadap para korban
Namun kuasa hukum salah satu korban, Masrizal, mengeklaim kliennya tak hanya mengalami trauma akibat kejadian tersebut. Setelah memutuskan keluar dari MTI Canduang, kata Masrizal, kliennya kesusahan mendapatkan sekolah baru.
“Setiap pesantren yang dikunjungi oleh orang tua klien saya ini menolak siswa dari MTI Canduang," ujar Masrizal, Kamis (01/08/2024).
Bagaimana kronologi versi korban?
Masrizal menuturkan keterangan yang ia dapatkan dari kliennya mengenai dugaan pelecehan seksual yang dialami hingga terungkapnya kasus tersebut.
Ia mengeklaim apa yang dialami kliennya berawal pada pertengahan Juni silam.
"Kejadian itu berawal saat pelaku dengan inisial RA meminta untuk diurut oleh klien saya ini bersama seorang temannya sekitar pukul 01.00 WIB. Biasanya, mereka memang sering diminta untuk mengurut gurunya itu," kata Masrizal
Menurut keterangan korban yang disampaikan melalui kuasa hukum Masrizal, biasanya RA minta diurut dalam durasi yang lama, tapi malam itu yang bersangkutan hanya meminta sebentar.
Alih-alih, kata Masrizal, guru pesantren tersebut meminta klien dan temannya untuk tidur di ruang tamu kamar pembina pesantren tersebut.
Di situlah dugaan tindak pencabulan terjadi, klaim Masrizal.
"Klien saya ini langsung memberontak dan melakukan perlawanan kepada pelaku dan pelaku langsung mengancam keduanya," lanjutnya.
Mendapatkan hardikan tersebut, kata Masrizal, keduanya hanya terdiam dan membiarkan pelaku melakukan aksinya.
Tidak hanya dipaksa untuk melakukan hal senonoh, Masrizal mengeklaim kedua santri itu juga diancam oleh pelaku untuk tidak melaporkan kejadian tersebut kepada siapapun.