DALAM Pemilu AS yang dramatis, Donald Trump keluar sebagai pemenang. Reaksi dunia beragam. Negara-negara Arab berharap Trump bersedia mengakhiri perang yang menghancurkan di Gaza dan Libanon, sementara Israel menghendaki Trump mendukung upaya perang mereka menghadapi Palestina, Hizbullah, dan Iran beserta proksi-proksi mereka. Sejak krisis Timur Tengah dimulai pada 7 Oktober 2023, saat Hamas melancarkan serangan dadakan ke Israel, Trump mengeluarkan pernyataan yang berubah-ubah.
Suatu ketika ia menyatakan, kalau terpilih menjadi presiden, krisis Timteng akan ia akhiri dalam hitungan jam. Pada kesempatan lain, ia mendukung upaya perang pemerintahan ekstrem kanan Israel pimpinan PM Benjamin Netanyahu sampai tujuan perang Israel tercapai. Yang terakhir, ia meminta Netanyahu sudah harus mengakhiri perang saat ia dilantik pada 20 Januari. Bagaimanapun, mengakhiri perang tanpa mengakomodasi aspirasi kemerdekaan Palestina tak akan mudah. Palestina-lah induk semua masalah Timteng saat ini.
Kawasan panas itu sudah berubah jauh ketimbang saat Trump menduduki Gedung Putih (2017-2021). Saat itu isu Palestina tidak lagi menjadi agenda utama bangsa Arab. Tak mengheran tak ada gejolak berarti ketika Trump mendorong UEA, Bahrain, Sudan, dan Maroko menormalisasi hubungan dengan Israel.
Khusus untuk UEA dan Bahrain, imbalannya ialah AS mundur dari kesepakatan nuklir Iran disertai sanksi keras guna melemahkan negeri mullah itu yang kian agresif dan asertif di kawasan melalui proksi-proksi mereka serta program rudal balistik mereka.
Kini Palestina kembali menjadi isu sentral bangsa Arab. Selain itu, Arab Saudi telah menormalisasi hubungan dengan Iran yang putus pada 2016. Lalu, genosida, ethnic cleansing, operasi militer dan perampasan tanah Palestina di Tepi Barat, serta brutalitas Israel di Libanon telah membawa hubungan Arab-Israel ke titik nol.
Tidak mungkin Trump bisa mengembalikan kawasan volatile itu ke situasi sebelum pecah perang Hamas-Israel. Situasi bahkan bertambah buruk bila ia mendukung target perang Israel. Target itu, pertama, Israel mengosongkan Gaza utara untuk dijadikan zona militerisasi pascaperang.
Kedua, entitas baru Palestina berkuasa di Gaza dengan sokongan negara-negara Arab atas tekanan Trump. Ketiga, menguburkan gagasan two-state solution. Keempat, melenyapkan Otoritas Palestina yang dihasilkan dari Kesepakatan Oslo. Kelima, mengosongkan Libanon selatan dari Hizbullah.
Target-target perang itu menjadi tidak masuk akal karena selain tidak bisa diterima bangsa Arab, pada masa lalu Israel pernah mencoba berulang kali yang berakhir dengan kegagalan. Ambisi Netanyahu itulah yang menjadi akar konfliknya dengan Menteri Pertahanan Yoav Gallant yang kemudian dipecat Netanyahu tepat pada hari pemungutan suara di AS.
Kendati mendukung genosida di Gaza, Gallant berpendapat mustahil Hamas bisa dtaklukkan. Gallant juga menolak militer Israel (IDF) menduduki Gaza pascaperang. Karena Hamas kini telah dilemahkan secara signifikan, saatnya perang diakhiri demi kembalinya sisa sandera yang masih ditahan di Gaza. Netanyahu berpendapat genosida perlu dilanjutkan sampai Trump memenangi kontestasi elektoral.
Kendati sangat berbaik hati kepada Israel dengan terus memasok persenjataan, mengalirkan bantuan finansial, dan memberi proteksi diplomatik, Presiden AS Joe Biden dan capres Kamala Harris mendukung two-state solution, menentang operasi militer dan perampasan tanah di Tepi Barat, mendukung Otoritas Palestina mengambil alih Gaza pascaperang, dan menolak gagasan Netanyahu, melancarkan perang skala penuh terhadap Iran untuk memungkinkan terjadinya regime change di sana.
Menurut Netanyahu, inilah momentum membangun Timteng baru. Timteng tanpa Palestina dan rezim mullah Iran beserta Hizbullah, Hamas, dan Houthi. Trump memang sangat pro-Israel. Ketika berkuasa di periode pertama, ia memindahkan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Jerusalem, tidak mengakui keturunan pengungsi Palestina, menghentikan bantuan ke Badan PBB Urusan Pengungsi Palestina (UNRWA), dan menawarkan konsep 'negara' Palestina dengan teritorium terbatas di Tepi Barat dan Gaza, tanpa Jerusalem timur untuk digantikan Desa Abu Dis di pinggiran Jerusalem, dan sebuah kantong di Gurun Negev.
Terlebih, Trump tidak lagi mengakui UNRWA, yang dengan sendirinya tidak mengakui hak pulang pengungsi Palestina ke kampung halaman mereka di Israel sesuai dengan Resolusi DK PBB 194. Padahal, keberadaan UNRWA sangat instrumental bagi kelangsungan hidup 5,9 juta pengungsi Palestina di wilayah pendudukan, Yordania, Suriah, dan Libanon.
Tak mengherankan, di tengah perang Gaza, Israel menuduh staf UNRWA ialah anggota Hamas. Karena itu, parlemen Israel (Knesset) mengeluarkan regulasi melarang lembaga itu beroperasi di Gaza dan Tepi Barat. Itu menimbulkan kecaman internasional karena, selain tuduhan itu tidak didukung bukti, UNRWA dibentuk PBB pada 1949 dan, sesuai dengan kesepakatan Israel-PBB 1967, Unrwa boleh beroperasi di Israel dan wilayah pendudukan.
Tujuan Israel jelas: menghukum warga Palestina secara kolektif dan membuat mereka bergantung pada belas kasihan Israel. Juga menghilangkan posisi legal UNRWA dalam melindungi Palestina. Sambutan gembira Israel terhadap kemenangan Trump juga terkait dengan Iran.
Dengan mundur dari kesepakatan nuklir Iran yang disertai sanksi ekonomi menyeluruh, Trump berharap rezim Iran akan kolaps. Pada 2020, Trump memerintahkan serangan terhadap komandan pasukan elite Iran dari Korps Garda Revolusi Islam Iran, Jenderal Qassem Soleimani, di Baghdad. Sayangnya, kebijakan Trump terhadap Timteng justru menambah masalah.
Serangan Hamas pada 7 Oktober tak lepas dari dinamika politik Timteng pada masa Trump. Sementara itu, kendati terpukul secara ekonomi karena Trump menghadirkan sanksi bagi negara yang mengimpor minyak mereka, Teheran justru meningkatkan aktivitas nuklir mereka. Teluk Persia pun menjadi tidak aman setelah Iran melancarkan serangan ke tanker-tanker internasional di dekat Selat Hormuz. Bahkan juga menyerang instalasi minyak Arab Saudi, Aramco. Iran pun membalas pembunuhan Soleimani dengan menyerang pangkalan militer AS di Irak.
Memang tidak ada personel militer AS yang tewas, tapi lebih dari seratus anggota mereka mengalami gegar otak. Perang bayangan Israel-Iran pun bereskalasi. Ketidakmampuan Israel melumpuhkan Hamas dan Hizbullah saat ini juga idak bisa dilepaskan dari persenjataan dan teknologi mereka yang ditransfer Iran kepada mereka. Bahkan juga ke Houthi. Terkait dengan program nuklir Iran, badan pengawas nuklir PBB IAEA menyatakan Iran telah memperkaya uranium mereka hingga 60%. Stoknya pun meningkat signifikan. Untuk memperkaya hingga 90%, yang memungkinkan mereka membuat bom atom, Iran hanya butuh dua minggu.
Sosok unpredictable
Kesepakatan nuklir Iran dengan negara-negara kekuatan dunia pada 2015 bertujuan membatasi program nuklir Iran, dengan imbalan Teheran bebas menjual energi mereka ke pasar global. Namun, Israel menginginkan lebih dari itu, yakni meruntuhkan rezim Iran. Untuk itu, Netanyahu berharap pada Trump. Toh, ia berandil besar bagi kemenangan Trump. Setiap kali Biden mendorong dicapainya gencatan senjata antara Hamas dan Israel, Netanyahu menorpedonya. Itu membuat komunitas Arab dan muslim AS mencoblos untuk Trump, hanya demi melampiaskan kekecewaan mereka pada Biden dan Kamala Harris.
Apakah Trump akan memenuhi harapan Netanyahu? Sulit menjawabnya karena Trump sosok unpredictable. Dalam kampanye, ia menyatakan akan menghindari keterlibatan AS dalam perang untuk kepentingan negara lain. Lagi pula, perang dengan Iran, yang berpotensi menyeret seluruh negara di kawasan, tidak dikehendaki bangsa Arab mengingat pangkalan militer AS tersebar di seluruh Jazirah Arab, kecuali Yaman dan Suriah. Mereka lebih concern pada penyelesaian isu Palestina, yang pada gilirannya mendeeskalasi Timteng secara menyeluruh.
Iran di bawah pemerintahan Presiden Masoud Pezeshkian yang moderat, yang ingin membangun hubungan bersahabat dengan seluruh negara, menjadi alasan lain bangsa Arab tak ingin mengganggu Iran. Sebaliknya, Timteng masih akan bergolak sepanjang Trump tunduk pada kemauan Netanyahu. Ada tanda-tanda Israel masih akan melanjutkan perang untuk melenyapkan Palestina sebagai bangsa dan memiliki pijakan militer di Libanon selatan untuk memastikan Hizbullah tak lagi menjadi ancaman mereka.
Pemecatan terhadap Gallant ialah indikasinya. Sementara itu, Iran masih mempertahankan ancaman mereka membalas serangan besar Israel.
Dus, deeskalasi Timteng bergantung pada Trump. Bila ia benar-benar menjalankan politik 'America First' untuk membuat 'America Great Again', ia harus mengakhiri perang di Gaza dan Libanon secepatnya, perang yang merugikan AS dan menguntungkan Tiongkok, kompetitor AS, karena konsistensi mereka mendukung Palestina.
Iran akan mencabut ancaman mereka bila gencatan senjata di Gaza dan Libanon tercapai karena pe...